Jakarta--Gonjang-ganjing harga daging sapi menyisakan
pertanyaan besar, berapa besar sesungguhnya industri sapi dalam negeri
mampu menyuplai kebutuhan daging sapi nasional. Hasil Sensus Pertanian
2013 yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik) dikabarkan menunjukkan
populasi sapi nasional tahun ini menyusut sekitar 19 – 20 % dari angka
yang dirilis pada 2011.
Sekalipun BPS
belum mengeluarkan rilis resmi, tetapi banyak pihak di
berbagai forum terbuka menyampaikan angka tersebut. Bahkan media
nasional sudah mewartakannya.
Dimintai keterangannya, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Syukur
Iwantoro mengatakan pihaknya belum menerima rilis dari BPS. Iamasih
menunggu angka resmi dan final hasil sensus. “Data hasil Sensus
Pertanian 2013 pada posisi Mei 2013, hasil final akan disampaikan oleh
BPS pada waktunya,” ungkapnya. Saat ini, tengah berlangsung proses
pencocokan dan penelitian oleh BPS bersama instansi yang membidangi
peternakan dan kesehatan hewan daerah.
Meskipun demikian, lanjut Syukur, bagaimanapun hasilnya, Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menyiapkan sejumlah
skenario, termasuk apabila terjadi penurunan populasi sapi. Disiapkan
kebijakan teknis untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi yang
sejauh mungkin tidak mengganggu Program Swasembada Daging Sapi dan
Kerbau (PSDSK).
Sudah Diprediksi
Kepada TROBOS Livestock, Ignatius Adiwira, Head of Sales Marketing & Government Relations
PT Santosa Agrindo (Santori) menyampaikan, penurunan populasi sapi
nasional sudah diprediksi banyak pihak sebelumnya. Kebijakan pengetatan
impor yang ditempuh pemerintah 2 tahun belakangan ini terkait obsesi
swasembada daging sapi 2014, dinilai sebagai pemicu.
Swasembada sebagai tekad menuju ketahanan pangan pantas diapresiasi
positif. Catatannya, kalkulasi menuju swasembada mutlak berpijak pada
data yang riil, tak bisa didasarkan pada angka-angka di atas kertas
semata. Fakta ini yang disesalkan pria yang akrab disapa Ignas ini.
Menurut dia, tak berbasis data lapangan yang akurat pemerintah memangkas
drastis kuota impor, sehingga terjadi ketidakseimbangan supply-demand yang berujung pada pengurasan sapi lokal.
Menyusutnya populasi sapi nasional salah satunya ditengarai dengan
semakin sulitnya mendapatkan sapi bakalan untuk digemukkan sebagai sapi
potong. Ini antara lain dikeluhkan Mujtahid Rahjman Yadi, peternak
sekaligus pedagang sapi asal Depok, Jawa Barat. “Saya yakin
penyusutannya lebih dari 20 %,” ungkap pemilik sekitar 500 sapi potong
ini. Yadi yang terjun di bisnis penggemukan sejak 2007 dan berdagang
hewan kurban sejak 1994, biasa belanja sapi bakalan langsung ke
pasar-pasar hewan di berbagai daerah. Dan tahun ini, kata dia, semakin
sulit mendapatkan bibit sapi untuk digemukkan.
Yudi Guntara Noor pemilik perusahaan penggemukan (feedlot)
PT Citra Agro Buana Semesta memberikan komentar, penurunan populasi
sapi nasional yang 20% akan membuat permasalahan industri sapi jadi
lebih serius. Pasalnya, permintaan daging sapi justru meningkat setiap
tahunnya seiring pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
Alih-alih swasembada, menurut Ignas, kondisi ini bila berkepanjangan
justru menyebabkan kebutuhan impor akan tambah besar dan cita-cita
swasembada semakin jauh. Tak ada jalan lain, untuk memperkuat populasi
sapi nasional perlu penghitungan kembali dengan cermat angka supply-demand. “Dan semua pemangku kepentingan harus duduk bersama,” ujarnya.
Buffer Stock Minim
Rencana impor sapi potong sepanjang 2013, sebagaimana disampaikan
Syukur sebesar 267.000 ekor, ditambah 25.000 ekor sapi siap potong untuk
lebaran. Angka ini turun dari 415.000 ekor di 2011 dan 283.000 ekor di
2012.
Pembatasan yang berlebihan dikeluhkan oleh kebanyakan perusahaan penggemukan, termasuk Santori. Dikatakan Ignas, secara umum buffer stock
saat ini minim sekali. Ia menyebut, kandang Santori di Lampung plus di
Probolinggo statusnya sekarang hanya terisi 30 % dari total kapasitas
terpasang 50.000. Kalau turun menjadi 20% atau lebih rendah lagi, ia
mengistilahkan, Santori siap-siap kukut (gulung tikar). “Dan kami tidak mau, karena itu feedloter cenderung akan menahan barang, supaya nafas lebih panjang,” kata Ignasberanalogi.
Ia menambahkan keterangan, kuota impor sapi bakalan yang dikantongi
Santori berturut-turut 2011, 2012 dan 2013 adalah 86 ribu ekor, 42 ribu
ekor dan 31 ribu ekor. Pemerintah mendorong feedloter untuk lebih menyerap sapi lokal. Celakanya, ketersediaan sapi lokal yang sesuai kebutuhan industri jauh dari cukup.
Untuk sebulan mendapatkan 200 ekor sapi bakalan saja, Ignasmengaku
pihaknya setengah mati memenuhi. “Dapat 200 ekor itu bisa dari 50
peternak yang beragam umurnya, beragam kualitasnya, beragam
kebiasaannya. Sangat berbeda dengan karakter sapi impor yang
keseragamannya tinggi, dan bagi industri bermakna efisien,” jelas dia
setengah mengeluh. Ia menyebut, pertumbuhan sapi impor mampu mencapai
1,5 – 2 kg per hari, sedangkan sapi lokal 1 kg per hari sudah bagus, dan
itu jarang.
Kondisi terberat dialami kandang Probolinggo, karena hampir 3 tahun ini
Pemerintah Daerah Jawa Timur melarang pemasukan sapi impor ke wilayah
tersebut. Alhasil kini kandang Santori di Probolinggo 6.000 sapi lokal.
“Belum lagi, sapi lokal sepenuhnya tidak cocok dengan infrastrtuktur farm
kami. Sapi lokal yang terbiasa di kandang individual, dipaksa
berkoloni karena kandang didesain untuk sapi asal Australia yang
terbiasa berkoloni,” jelas dia. Alhasil, antar sapi bertarung, saling
menaiki.
Kebijakan Panik
Yadi juga menilai kebijakan impor terakhir sebagai langkah panik. Akar
masalahnya tak lain adalah salah dalam menetapkan kuota impor, akibat
perhitungan supply-demand yang tidak akurat. Kebijakan ”gagah” swasembada 2014, perlu dikritisi pijakannya. ”Cita-cita swasembada kalau datanya akurat OK,”
kata Yadi. Tapi ia menilai pemerintah terlalu memaksa mengurangi angka
impor demi obsesi impor tak lebih dari 10 %. Pasokan pun terbatas dan
harga meroket, sehingga sapi betina produktif dan sapi yang belum waktu
potong pun dijual peternak.
Tetapi tiba-tiba pemerintah mengeluarkan kebijakan impor daging beku
dan sapi siap potong. Peternak sempat dirugikan karena harga di tingkat
peternak sempat turun, meski di tingkat konsumen bergeming. ”Padahal
saya beli bibit sudah tinggi,” kata Yadi. Akibat perubahan dadakan
tersebut, Yadi mengaku lebaran lalu tidak mendapatkan untung dari
sapi-sapi yang telah digemukkannya 4 bulan. ”Hanya impas, karena beli
bibit Rp 38 ribu per kg bobot hidup. Prediksi harga jual karkas Rp 80
ribu per kg nyatanya drop Rp 76 ribu menyusul adanya impor,” beber dia.
Sementara Syukur mengatakan, kebijakan impor sapi siap potong merupakan
inisiasi dari Kementerian Perdagangan yang ditujukan untuk operasi
pasar penyediaan lebaran. “Hanya untuk operasi pasar menjelang dan pasca
lebaran,” tandas dia.
Untuk Menyelamatkan Populasi
Mengomentari kebijakan tambahan impor Ketua Asosiasi Sarjana Masuk Desa
(SMD), Suparto mengutarakan persetujuannya sepanjang ditujukan untuk
menyelamatkan populasi sapi lokal. Ia memberi catatan, langkah tersebut
harus dilakukan dengan perhitungan dan pertimbangan yang akurat antara
kebutuhan konsumen dan pasokan produsen. “Sehingga, peternak sapi lokal
tetap terlindungi dan bisa hidup dari usaha peternakannya,” ujar pria
yang membina puluhan peternak di Jawa Timur ini.
Ia menangkap kesan, impor sejauh ini cenderung dilihat dari sisi
menyelamatkan konsumen semata, agar harga daging turun. Ia menuntut
nasib 6 juta peternak beserta keluarganya mutlak diperhatikan.
“Faktanya, setelah impor besar – besaran kemarin, apakah harga daging
turun? Siapa yang diuntungkan? Peternak dibuat galau oleh kebijakan
pemerintah akhir – akhir ini,” cecar dia.
Masih menurut Suparto, impor bukan jalan pintas untuk menurunkan harga
daging sapi. Lebih baik pemerintah fokus memperbaiki peternakan sapi
lokal di sektor produksi, utamanya membenahi jalur distribusi yang masih
berbiaya sangat tinggi.
Senada, Sumarna peternak asal Karawang Timur, menyoroti belum
tersentuhnya koreksi perniagaan sapi lokal. Ketua FPSI (Forum Peternak
Sapi Indonesia) DPD Jawa Barat ini mengaku hanya bisa berpesan kepada
teman – teman anggota FPSI agar pandai-pandai mencermati situasi.
“Cermati kapan harus mengisi kandang atau menjual sapi,” ujarnya